Tak terasa jejak-jejak kaki ini telah lama membumi. Melewati hari demi hari hingga kini hampir tiga semester telah dilewati. Dan detik demi detik penuh pengorbanan yang silih berganti, takkan hanya menjadi kisah abadi. Ini kisahku. Kisah tentang jiwa yang rapuh. Melewati kehidupan mahasiswa dengan tekad yang masih belum jelas.
Deru semangat di saat itu, masih terngiang ditelingaku. Ku kecup tanganmu, dan kurasakan hangatnya kasih sayang diantara bait-bait kata dari kalimat terakhirmu ketika melepasku. “Jadilah orang yang bisa dibanggakan”, seakan itu kata mujarab yang kau ucap dan selalu kuingat dalam memoriku. Mengharap keselamatan, dan tidak ada hal yang tak diinginkan terjadi kepadaku.
Aku yang rapuh, namun suaramu dari jauh yang selalu menjadi penguat hatiku. Aku tak menemukan kata-kata terbaik tuk melukiskan bahagiaku. Aku mencoba melakukan yang terbaik, untukmu, semua keluarga, dan sahabat yang selalu mendukungku.
Ada kalanya juga diri ini terbelah. Di antara kemalasan yang menjadi, prestasi yang terjal tuk didaki, dan konsistensi yang terus digali, ada harap kalian disana yang selalu percaya padaku. Percaya bahwa tiap tetes keringat yang kau lakukan untukku takkan sia-sia, sekadar menjadi pelengkap kisah dan tak sedikitpun memberikan asa. Dan ketahuilah, jika hal itu menjadi kenyataan, betapa penyesalan akan tiba. Bahkan mungkin takkan bisa termaafkan diri ini, yang sama saja menjadi beban tanpa memberi sesuatu yang berarti.
Aku memang belum bisa membuatmu bangga, dengan nilai-nilai di atas rata-rata, ataupun selaksa hal positif yang membelalakkan mata. Bahkan, aku lebih sering melagukan keluh nan kesahku ketika lewat senandung manja. Tetapi tak sedikitpun itu membuatmu menolakku ketika menghubungimu.
Aku membelitmu dengan masalah, yang tak bisa ku selesaikan walau diri ini seharusnya bisa lebih bersikap dewasa. Padahal, berkali lipat masalah pasti tlah kau jumpai disana. Duniamu yang membuat duniaku juga ada. Duniamu yang menjadi penyokong duniaku tuk tetap ada. Tetapi tetap, itu tak membuatmu menghindariku.
Aku menyalahkanmu ketika itu. Menyalahkan pilihan yang telah kita sepakati bersama dan restu yang telah kau beri untukku. Padahal kau tahu, potensiku seluas samudera namun semangatku tak setinggi langit, dan semangat lah yang justru paling penting. Tetapi kau tetap mempercayaiku.
Disana, kau tetap tiada lelah mengirim do’amu untukku kepada-Nya. Mengharap Sang Kuasa memberikan aku hidayah, dan senantiasa dalam naungan jalan-Nya tuk terhindar dari bahaya. Tiada lelah, tapi tak pernah sekalipun aku membalas balik do'amu.
Dan disini, aku ada tuk berusaha menjawab kepercayaanmu.
Bandung, Tanah Rantau
Egy Lukman Nugraha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar